Misteri Manusia & Hujan
www.dionisiusriandika.com – Sejak era nenek moyang manusia jutaan tahun lampau, air ibarat pasangan pengantinnya. Ketika musim kering melanda, nenek moyang kita akan menggelar pesta sekaligus ritual kepada Sang Kuasa supaya menurunkan hujan segera. Segala rupa sesaji dihidangkan, mantra-mantra doa dilitanikan, bahkan lagu serta nyanyi-nyanyian dikumandangkan sambil menciptakan tari-tarian.
Saat hujan yang dirindu-rindukan datang, pesta serta ritual yang tak kalah sakral diselenggarakan di bawah hujan. Ya, di bawah hujan. Artinya, manusia menyatu dalam sukacita bersama sang hujan. Ini merupakan luapan kebahagiaan tiada tara.
Namun, jauh di zaman setelahnya. Di zaman manusia sekarang, air tak lagi jadi pasangan pengantin yang dirindukan. Justru, manusia menganggap sang air sebagai kutukan.
Lihat saja ulah para orang tua yang melarang anak-anaknya bermain dan bermesraan bersama hujan. Hujan diklaim sebagai sumber penyakit, “Jangan hujan-hujanan, nanti sakit!”
Lihat pula diri kita. Saat di jalan, lalu tiba-tiba turun hujan, kita pasti buru-buru berteduh. Kita berupaya menghindar dari hujan.
Manusia lupa bersyukur atas hujan. Manusia cenderung menganggap hujan sebagai persoalan. Maka, tak heran jika kini hal itu yang benar-benar terjadi dalam kehidupan ini. Hujan datang menghadirkan keresahan, menjadi banjir serta rupa-rupa bencana.
Masih ada kesempatan untuk mengembalikan keintiman, kemesraan, dan kesakralan relasi manusia dan hujan. Kesempatan itu harus diciptakan dalam pikiran. Lalu, kita bisa yakin, tak akan lagi ada bencana karena hujan.