Sengketa
www.dionisiusandika.com – Siang belum turun. Nun di belahan angkasa sana, mentari masih gagah menyala. Ketika itu, arakan awan sepekat jelaga memekati mayapada. Tak lama, hujan tercerai mewujud badai. Raga Bayu menyambut dengan gelut. Hari diamuk kemelut. Lama. Hingga hari rampung menjadi senja.
Pepohon kehilangan pegangan. Akar menjerit sebelum terjungkal. Dedaun direngkuh cabik. Tak tertampik. Hujan dan angin menggila memorakporanda.
Dari langit yang ditinggalkan awan, kilat menolak diam. Langit yang memasang wajah sebeku jenazah dinyalakan dengan api berekor jerit. Jiwa-jiwa diguncang bimbang. Takut dan kejut.
Pintu-jendela pasrah dihantam tampias serupa rajam. Rumah-rumah menjeda terang lampu sementara. Berkabung.
Tanpa aling-aling, mata kanak-kanak menikmati kilat bagai kembang api tahun baru. Gemuruh ditertawakan bagai lawakan badut ulang tahun. Hujan lebat dilemparinya senyum. Badai dilihatnya bak pelukan sepasang penari berputar-putar di lantai dansa.
Lalu, dia menjauh dari jendela. Diraihnya saklar lampu. Dan, di luar, alam pun reda.