Literasi dan Pemberdayaan Karakter
Oleh Dionisius Riandika
Sejarah ditandai dengan dikenalnya tulisan sebagai sarana berkomunikasi. Dengan kata lain peradaban manusia erat kaitannya dengan budaya tulis atau yang secara harfiah disebut literasi. Literasi terbukti memiliki andil besar dan kuat dalam perkembangan kehidupan. Hal ini bukan tanpa alasan. Munculnya agama tak bisa lepas dari peran literasi. Sebut saja Kitab Taurat yang menjadi kitab suci agama Yahudi, agama Kristen dengan Injilnya, Islam dengan alqur’annya, dan masih banyak lagi. Melalui ajaran-ajaran yang tertulis dalam kitab-kitab suci itulah esensi dan eksistensi manusia dibentuk.
Jika kita tarik garis lurus sepanjang sejarah kehidupan, kita akan menemukan bahwa literasi selalu mengiringi. Melalui literasi, pendidikan kita dimulai. Baca tulis menjadi dasar pembelajaran di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi. Bahkan, seorang intelektual mencapai level puncak ketika mampu membuktikan diri melalui karya tulis yang dibuatnya. Entah berupa makalah, jurnal ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, dan sebagainya. Ini menegaskan bahwa literasi menjadi prestasi sekaligus prestise bagi setiap pribadi berpendidikan.
Sejak era kepemimpinan presiden Joko Widodo gaung literasi mulai terdengar kembali. Rupanya, pemerintah menyadari peran literasi bagi perkembangan kualitas bangsa Indonesia. Pemerintah sangat jeli melihat bahwa literasi mampu menguatkan karakter bangsa. Maka, literasi menjadi salah satu elemen Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Secara sistematis, gerakan literasi hidup di sekolah-sekolah melalui gerakan 10 menit membaca setiap hari di awal pembelajaran. Gerakan nasional ini harus didukung oleh semua elemen masyarakat pendidikan. Diharapkan gerakan ini menjadi budaya intelektual yang memberdayakan karakter bangsa Indonesia.
Literasi bersifat sangat luas. Tak hanya sebatas membaca dan menulis. Lebih dari itu, literasi juga mencakup pendidikan nilai-nilai yang tersampaikan melalui teks-teks yang dibaca. Literasi juga kemampuan menganalisis dan merefleksikan isi teks. Membedakan fakta, opini, dan hoaks (Kompas, 4 September 2018 hal. 9).
Setiap teks yang dibaca semestinya mengandung pesan moral dan ajaran tentang nilai-nilai kehidupan. Dengan merefleksikan isi teks, setiap pribadi diharapkan mampu memberdayakan karakter positif dalam dirinya menjadi semakin berkualitas. Untuk itu diperlukan kesadaran bersama dari keluarga, sekolah, gereja, serta masyarakat.
Keluarga harus menjadi lingkungan yang literer. Budaya menonton dan komunikasi daring harus diimbangi dengan budaya literasi. Orang tua berkewajiban menyediakan buku-buku berkualitas bagi anak-anaknya. Seperti adanya waktu makan bersama, waktu untuk membaca bersama, berdiskusi bersama juga perlu direalisasikan di tengah kebersamaan dalam keluarga. Sekolah harus secara terprogram dan konsisten menumbuhkembangkan budaya literasi secara lebih luas. Sekolah dapat memfasilitasi siswanya untuk share book, bedah buku, apresiasi literasi, dan sebagainya. Gereja juga harus ambil bagian untuk mewujudkan umat yang literer. Budaya membaca kitab suci dalam Gereja Katolik perlu didorong. Sharing iman, pendalaman kitab suci, hingga diskusi bisa diadakan. Pemerintah perlu membangun perpustakaan di tempat-tempat umum, seperti di taman, halte, terminal bandara, dan ruang publik lainnya.
Dengan gerakan simultan seluruh elemen, niscaya lahir karakter bangsa yang berdaya. Karakter intelektual, toleransi, respect, nasionalisme, kerukunan, kekeluargaan, persatuan, kejujuran, kearifan lokal, dan masih banyak lagi karakter positif yang memberdayakan akan muncul. Maka, bangsa Indonesia boleh merasa lega dan mantap menatap masa depan menjadi bangsa yang semakin berdaya di kancah dunia.
Dimuat di Majalah Educare No. 09/XVI/September 2018