Ajari Anak Cara Marah yang Asyik
Oleh Dionisius Riandika
Seorang ibu muda menjadi sangat gelisah setelah melihat anaknya marah. Persoalannya sederhana, sang ibu meminta si anak untuk berhenti bermain gadget karena waktu bermain sudah terlalu lama. Yang membuat sang ibu gelisah adalah perilaku marah si anak yang destruktif. Anak tersebut marah sambil berteriak-teriak menolak, memukul-mukul sang ibu, bahkan membuang barang-barang yang ada di dekatnya.
Marah adalah Emosi Alami
Sebagai orang tua atau pendidik barangkali Anda pernah pula mengalami kasus semacam ini. Sesungguhnya, marah adalah emosi alami yang dapat dialami oleh setiap manusia. Marah dapat disebabkan oleh masalah eksternal maupun internal. Seseorang bisa marah terhadap orang lain karena perilaku yang tidak menyenangkan atau terhadap situasi tertentu yang membuat tidak merasa nyaman. Marah juga dapat terjadi karena persepsi diri seseorang yang kurang tepat, misalnya merasa diperlakukan tidak adil, merasa diambil kebebasannya padahal belum tentu demikian kenyataannya, dsb..
Ketika marah, seseorang tidak dapat berpikir logis dan rasional. Sebab, ketika emosi naik maka logika turun. Juga sebaliknya, ketika logika naik, emosi turun. Dengan kata lain, logika dan emosi berbanding terbalik. Orang tua dan pendidik perlu memahami kondisi tersebut.
Menyadari hal di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada yang salah dengan “marah”. Yang menjadi masalah adalah perilaku yang ditimbulkan saat seseorang marah. Jadi, marah bukanlah masalah, tetapi bagaimana mengungkapkan marah dengan cara yang tidak tepat itulah masalah yang sebenarnya.
Lalu, bagaimanakan marah yang tepat? Di sini, penulis khusus membahas cara mengajarkan anak cara marah yang asyik. Barangkali Anda bertanya-tanya, “Memangnya ada, ya, marah yang asyik?”. Mari kita simak!
Mengajarkan Cara Marah yang Asyik
Meskipun marah merupakan sebuah emosi alami yang dapat dialami setiap orang, namun kemampuan mengelola kemarahan setiap orang berbeda satu sama lain. Marah tidak hanya melibatkan perasaan, melainkan juga melibatkan respon fisik dan perubahan biologis dalam tubuh. Denyut jantung dan tekanan darah meningkat serta berbagai perubahan lain yang dipicu oleh peningkatan hormon adrenalin (Goldstein, Brook, Weiss, 2004). Semua itu memungkinkan kita untuk mengeluarkan reaksi dengan kekuatan yang lebih besar melampaui yang dapat kita bayangkan.
Berita baiknya adalah bahwa mengelola marah dapat kita ajarkan kepada anak-anak. Pertama melalui teladan kita sebagai orang tua atau pendidik. Kedua dengan membuat anchor/jangkar.
Anak selalu memodel segala sesuatu yang dia lihat dan dia dengar. Terutama memodel perilaku orang tua. Termasuk memodel “cara” marah orang tua mereka. Sadar atau tidak, ketika marah, kita sebagai orang tua atau pendidik pasti juga merespon, baik secara fisik maupun verbal. Misalnya, marah sambil berteriak, marah sambil mencubit, marah sambil menunjuk anak dengan telunjuk (menuding; bahasa Jawa), dsb..
Menyadari hal tersebut, sebagai orang tua atau pendidik, kita perlu mengelola kemarahan kita dengan tepat. Niscaya anak-anak kita akan mengikuti cara marah kita dengan cara yang tepat pula. Kuncinya, orang tua atau pendidik sebagai teladan harus terlebih dahulu berlatih mengelola marah dengan tepat.
Cara mengajarkan marah yang kedua adalah dengan membuat anchor/jangkar. Dalam ilmu NLP (Neuro Linguistic Programming), anchor/jangkar diartikan sebagai tombol atau saklar untuk memicu reaksi yang diinginkan sesuai dengan program yang telah ditanamkan. Artinya, supaya anchor/jangkar bekerja, terlebih dahulu harus ditanamkan programnya.
Satu tips sederhana membuat anchor/jangkar adalah dengan memprogram pikiran bawah sadar anak. Waktu yang tepat untuk memasukkan program tersebut adalah saat anak berada pada state yang tepat. Misalnya ketika anak sedang sangat fokus terhadap kesukaannya. (lebih lengkap baca artikel pada Educare edisi sebelumnya). Selain itu, kita juga bisa memasukkan sugesti atau program ketika anak menjelang tidur. Yaitu, pada saat antara sudah tidak sadar tapi belum tidur pulas atau pada kondisi hampir/nyaris tidur. Pada saat inilah, area kritis pikiran terbuka, yang artinya pikiran bawah sadar bisa dan mudah menerima masukan/sugesti/program.
Salah satu contoh sugestinya yang bisa diberikan adalah “Mulai sekarang dan seterusnya, setiap kali adik (atau sebut nama anak) marah, adik akan langsung peluk ayah/bunda/bapak guru/ibu guru. Dengan memeluk ayah/bunda/bapak guru/ibu guru, adik otomatis langsung merasa sangat tenang dan gembira”. Ulangi mengucapkan sugesti ini sebanyak 5 sampai 7 kali.
Setelah masukan/sugesti/program ini tertanam, maka setiap kali anak marah dia akan langsung memeluk ayah/bunda/bapak guru/ibu guru atau siapapun sesuai sugesti yang ditanamkan. Perbuatan memeluk inilah yang menjadi anchor/jangkar bagi anak. Artinya, setiap kali marah, anak otomatis akan memeluk, setelah memeluk otomatis akan tenang dan merasa gembira.
Selain dengan memanfaatkan state hampir tidur, dapat pula menggunakan state fokus anak. Misalnya ketika anak sedang asyik mewarnai gambar maka kita bisa mengucapkan sugesti di atas. Tak perlu khawatir seandainya anak seolah tidak mendengarkan sugesti kita. Karena memang bukan pikiran sadarnya yang mendengar melainkan pikiran bawah sadarnya yang kita sasar.
Dengan mengajarkan cara marah yang asyik kepada anak, kita tidak hanya melatih anak mengelola emosinya. Lebih dari itu, sesungguhnya kita sebagai orang tua atau pendidik telah menyiapkan dan menjadikan anak-anak kita menjadi pribadi dewasa. Bayangkan saat anak marah kemudian otomatis memeluk kita dan seketika menjadi tenang dan gembira. Asyik, kan?
Dimuat di Majalah Educare No. 08/XVI/Agustus 2018